Sabtu, 31 Mei 2025

Sang Ratu Penakluk Tanah Sunda

Sang Ratu Penakluk Tanah Sunda

Kabut turun perlahan di atas Gunung Tangkuban Parahu. Udara pagi masih basah oleh embun ketika derap kaki kuda menjejak tanah, membelah keheningan hutan. Di atas kuda putih berhias benang emas, seorang perempuan muda berdiri tegak, matanya tajam menatap ke arah barat — ke tanah yang dijanjikan, tanah yang akan ia kuasai.

Namanya Ratu Anindhita, pewaris takhta dari Kerajaan Galuh Timur. Di usianya yang baru dua puluh lima, ia telah menaklukkan tiga wilayah dalam waktu tiga tahun. Rakyat memujanya, musuh gentar mendengar namanya. Tapi ada satu tanah yang masih luput dari genggamannya: Tanah Sunda, wilayah kaya dengan pegunungan, hutan lebat, dan rakyat yang terkenal gigih mempertahankan kebebasan.

Para penasihatnya memperingatkan. “Tanah Sunda bukan sekadar wilayah. Ia punya jiwa sendiri. Kau akan melawan bukan hanya prajurit, tapi juga leluhur dan alamnya.”

Namun Anindhita tak gentar. “Aku tidak datang untuk merusak, tapi untuk menyatukan,” ucapnya. “Tanah Sunda akan jadi jantung kekaisaran kita.”

**

Perang berlangsung selama sembilan puluh sembilan hari. Ratu Anindhita memimpin langsung di garis depan, dengan pedang pusaka warisan ayahnya: Candrakirana. Setiap langkah pasukannya maju, hutan merintih. Sungai-sungai memerah. Rakyat Sunda bertahan, tapi satu per satu benteng mereka runtuh.

Pada hari keseratus, Ratu Anindhita berdiri di gerbang ibu kota Pakuan. Ia tidak memerintahkan serangan. Ia turun dari kudanya, membuka helmnya, dan berjalan sendirian menuju kota yang nyaris sunyi.

Seorang lelaki tua, kepala suku terakhir yang tersisa, keluar dari reruntuhan pura. Wajahnya penuh luka, tapi matanya masih menyala dengan semangat.

“Ambillah tanah ini,” katanya, “tapi jangan kira kau telah menaklukkan kami.”

Ratu Anindhita mengangguk, kemudian berlutut dan mencium tanah.

“Aku datang bukan sebagai penakluk,” bisiknya, “tapi sebagai penjaga. Tanah ini tidak akan kulukai lagi.”

**

Sejak hari itu, Tanah Sunda tidak lagi jadi medan perang, tapi pusat kebudayaan. Anindhita memindahkan istananya ke Pakuan, belajar bahasa dan adat Sunda, bahkan menikah dengan seorang bangsawan dari garis keturunan raja terakhir.

Orang-orang akhirnya memanggilnya bukan sebagai penakluk, tapi Ratu Niskala — pemimpin yang tak hanya menguasai tanah, tapi juga hati rakyatnya.

Dan legenda itu masih hidup hingga kini, dibisikkan oleh angin yang menyusuri hutan Priangan, tentang seorang ratu yang datang membawa pedang, tapi menaklukkan dengan jiwa.

#cerpen #ceritarakyat #sejarah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar